Kunjungan Presiden Barack Husein Obama ke Republik Indonesia menjadi berita yang menyedot banyak perhatian orang Indonesia. Selain Obama adalah pemimpin dunia paling berpengaruh, Obama juga pernah merasakan nikmatnya hidup di alam raya Indonesia ini. Jadi memang sangat menarik perhatian masyarakat Indonesia. Kegiatan Obama tidak hanya berkutat dalam kegiatan kenegaraan, tapi juga travelling mengunjungi Masjid terbesar di Asia Tenggara, Masjid Istiqlal Jakarta.
Saat sebelum Obama menginjakkan kaki di Masjid Istiqlal banyak yang menuntut Barack Obama untuk menghormati tempat ibadah umat Islam itu dengan melepas sepatu. Barack Obama pun menghormati, beliau masuk dengan melepas sepatunya dan menariknya First Lady menggunakan kerudung dan pakaian serba landung (panjang dalam bahasa Jawa) saat masuk ke Masjid kebanggaan Indonesia ini. Ini adalah bentuk penghormatan Barack Obama kepada budaya setempat.
Kemudian, ketika kita ke Bali. Apa yang khas dari Bali? apalagi kalau bukan Pura. Tempat ibadah umat Hindu ini memang memiliki keindahan arsitektur yang memukau, sehingga menarik siapapun untuk menikmati keindahannya dari dekat. Biasanya di Pura, ada peraturan kepada para pengunjung menggunakan kain selendang yang diikatkan ke pinggang pengunjung. Hampir nggak pernah lihat ada orang yang menolak menggunakannya. Ini juga bentuk penghormatan kepada kearifan lokal.
Pernah ke Borobudur? disana harus pakai kain batik. Kemudian pernah ke tempat wisata religi misalnya situs makam walisongo yang mengharuskan pengunjungnya menggunakan baju Muslim. Atau pernah ke tempat yang dikeramatkan warga setempat dengan peraturan-peraturan tertentu. Umumnya sih semuanya manut dan patuh.
Tapi negara api menyerang. Banyak tayangan televisi dan film layar lebar yang menunjukkan serunya travelling. Baik travelling yang berbasis alam, situs budaya, desa budaya dan lain-lain. Saya yang langganan naik kereta api dari Jakarta – Bojonegoro juga merasakan perubahannya. Pernah dengar film 5 cm? Saya ndak pernah nonton sih, tapi konon film ini salah satu film yang berhasil meningkatkan angka pendakian gunung Semeru.
Sebenarnya itu bagus, dan bagus banget, tapi seperti hal-hal yang sebelumnya juga ngetrend. Trend naik gunung juga melanda orang-orang yang saya sebut baru keluar kandang. Orang-orang yang sama sekali tidak tahu etika umum. Kebiasaan ditempat asalnya tidak peduli kota maupun desa dibawa-bawa dan sayangnya belum tentu cocok dengan etika umum yang berlaku.
Oke apa sih riilnya? Misalnya pas menggunakan kereta api, mereka ramai banget dan sangat mengganggu penumpang lain yang ingin beristirahat. Tahu nggak penumpang kereta api khususnya akhir pekan itu umumnya adalah orang-orang yang seharian bekerja kemudian pada sore hari melakukan perjalanan jauh menggunakan kereta dengan harapan bisa istirahat di kereta api eh diganggu sama alay-alay ini.
Beberapa waktu lalu mungkin sebagian kita juga jengkel dengan ulah para pelaku swa foto yang menginjak-injak bunga Amarylis yang ada di Pathuk, Gunung Kidul, Jogja. Kebun bunga ini sejatinya bukan tempat wisata, tapi sebuah kebun pribadi. Pemiliknya pun justru kasihan sama pengunjung yang belakangan datang karena tidak kebagian bunga yang bagus untuk berswa foto. Banyak lagi sebenarnya aksi-aksi vandalisme di tempat wisata lainnya di Indonesia. Saya akrab banget sama tulisan-tulisan nama di pager-pager tempat wisata ada juga penempelan stiker-stiker komunitas travelling yang alay di tempat yang tidak seharusnya seperti dipapan petunjuk jalan dan lain-lain.
Baik, setelah melihat fakta-fakta diatas, ada suara yang bilang kurang lebih “kalau ada tempat bagus jangan difoto, supaya tidak ada yang tahu”. Saya sama sekali tidak melihat manfaat dari ungkapan tersebut. Kenapa? Soalnya saya lebih senang dan bahagia ekonomi negara ini berasal dari pariwisata apapun jenisnya dibandingkan dengan eksploitasi Sumber Daya Alam yang efeknya jauh lebih parah ketimbang anak-anak alay yang selfie di kebun Amarylis atau yang suka berisik di kereta.
Jadi disini saya ingin bilang bahwa tempat wisata yang bagus harus disebarluaskan ke masyarakat, jangan ditutup-tutupi. Biarkan warga sekitar tempat wisata mendapatkan manfaat dari alam dengan tanpa mengeksploitasinya. Anak-anak traveller idealis, sebaiknya berikan pendampingan kepada masyarakat sekitar tempat wisata yang keren tersebut untuk mengelola dengan baik. Kemudian juga, silakan kampanye dan berikan rambu-rambu yang jelas di tempat wisata, misalnya dilarang ini itu untuk menjaga keutuhan dan keindahan tempat wisata. Gampangnya sih berperan untuk memberikan tips dan info wisata kepada seluruh masyarakat.
Bayangkan saja, negara red dot saja bisa menggenjot industri pariwisatanya, masak kita yang jauh lebih banyak tempat wisatanya justru mau disembunyikan. Mulai sekarang mari kita berwisata, patuhi aturan setempat, jangan berbuat aneh-aneh, jangan bawa kebiasaan kampung halaman ke tempat wisata dan mari hormati kearifan lokal tempat wisata.
Tempat wisata itu memang perlu dikunjungi. Apalagi diabadikan. Melalui foto misalnya, biar kenangannya akan tetap tersimpan. Tapi kita harus mencontohkan hal-hal yang baik juga. Bagaimana cara mencintai alam. Bukan merusaknya.
Iya daripada ekonomi kita hanya bergantung pada eksploitasi SDA, mending menikmati pemandangan SDA kita aja :-)
Setuju! Kalau saya sendiri sih selain menaati aturan setempat, belajar bahasa setempat selama wisata juga termasuk bentuk dari kearifan lokal yang saya yakini. Walaupun malah jadi bahan ketawaan warga, yang penting kita disambut dengan hangat sama warga setempat. hehe :D
Salam kenal, kang.
Penjaja Kata
Iya, kan kita selalu gembar gembor “Anda Sopan, kami segan” itu berlaku juga utk dunia travelling. ?
Terima kasih kang Rudi sudah turut mendukung gerakan PKK Warung Blogger
Artikelnya sudah tercatat sebagai peserta ya
Salam PKK
Terimakasih sudah diapprove ?