Cara Walisongo Berdakwah Tentang Puasa, Begini Ceritanya

Cara Walisongo Berdakwah Tentang Puasa

Cara Walisongo berdakwah memang menarik untuk menjadi inspirasi. Banyak pelajaran yang ada dalam proses mengislamkan orang Jawa. Dari mulai mendakwahkan tauhid, akhlak hingga dengan tata cara ibadah seperti puasa ramadan.

Cara walisongo berdakwah memang terkenal sangat menghormati adat-istiadat setempat. Kemudian, juga sangat kreatif dan menyenangkan. Contohnya bulan puasa yang disambut gembira oleh masyarakat.

Cara walisongo berdakwah dengan gembira itu tergambar dari orang-orang desa Kapu yang sibuk menyiapkan hidangan untuk menyambut bulan puasa atau akrab dengan sebutan megengan.

Sementara di daerah lain ada yang menyebut sebagai munggahan. Ada juga yang beramai-ramai ke mata air desa untuk melaksanakan padusan menyambut bulan puasa.

Dari semua kegiatan menyambut bulan puasa di Indonesia itu berintikan sebuah kebahagiaan, kegembiraan dan antusiasme yang memuncak untuk menyambut bulan penuh rahmat, Ramadan.

Lalu timbul pertanyaan, bagaimana dahulu cara walisongo berdakwah tentang puasa ini, sehingga semua yang terkait dengan bulan puasa selalu menimbulkan rasa bahagia.

Bacaan Lainnya

Apakah dulu mendakwahkannya segembira itu sehingga menjalankan puasa jadi kegembiraan tersendiri bagi orang Jawa, bahkan saat baru menyambut pun mereka begitu antusias. Yuk simak.

Cara Walisongo Berdakwah tentang Puasa

Beberapa waktu lalu saya membaca majalah National Geographic. Kebetulan saat itu kantor tempat saya bekerja berlangganan majalah beken tersebut.

Pada National Geographic edisi bulan Mei 2018, ada tulisan mengenai menjadi Muslim di Amerika. Tulisan tersebut dengan apik menggambarkan betapa beratnya menjadi minoritas di negara adidaya.

Menariknya dengan keadaan tersebut Muslim Amerika masih dapat bersikap sangat baik kepada warga sekitar, semakin terbuka dan tetap cinta kepada Amerika.

Salah seorang Muslim bernama Usama Canon seorang pendakwah asal California mengatakan “Seorang ulama besar berkata bahwa Islam itu seperti aliran air yang murni dan jernih yang warnanya sama dengan warna dasar sungai yang dilaluinya”.

Sekarang bisa kamu lihat di Indonesia, berabad-abad lalu, di Jawa, cara walisongo berdakwah juga menggunakan prinsip yang kurang lebih sama dengan Usama Canon tadi.

Dalam buku Atlas Walisongo yang ditulis oleh Agus Sunyoto menyatakan bahwa Islam berkembang pesat dengan cara menghargai budaya Indonesia.

Salah satu caranya adalah dengan menyerap istilah lokal untuk menyebut istilah dalam agama Islam yang berbahasa Arab.

Termasuk di antaranya adalah Shaum. Pakai Sh karena pakai Shad. Entahlah kalau Insya Allah kenapa akhir-akhir ini pakai Shad juga. Shaum adalah kata yang berasal dari bahasa arab yang artinya puasa.

Alih-alih menggunakan kata shaum, Walisongo justru menggunakan kata Poso atau puasa yang berasal dari kata upawasa. Upawasa merupakan istilah dalam agama Kapitayan yaitu agama yang saat itu menjadi agama mayoritas masyarakat nusantara sebelum agama Islam datang.

Upawasa sendiri adalah ritual agama kapitayan yaitu tidak makan dan minum dari pagi hingga malam. Sehingga dengan membuat padanan kata shaum dengan upawasa atau puasa maka orang-orang Jawa masa itu dapat dengan sukarela menjalankannya. Toh sebelumnya mereka juga menjalankan ritual yang sama.

Tradisi Sebelum Puasa di Jawa

Sebelum puasa masyarakat Jawa juga melakukan ritual nyadran atau nyekar. Ini juga istilah warisan agama kapitayan. Dalam bahasa Arab nyadran atau nyekar disebut ziarah kubur. Nyadran merupakan sisa-sisa dari upacara sradda, yaitu berkirim doa kepada arwah leluhur.

Jadi semua rangkaian ibadah puasa yang biasa dilakukan di Jawa berhasil dilokalkan istilahnya tanpa mengubah sedikitpun syariat Islam yang murni. Cara walisongo berdakwah ternyata berhasil. Puasa yang merupakan rukun Islam ini didakwahkan dengan cara yang elegan dan penuh penghargaan terhadap tradisi lokal.

Jadi kiranya tepatlah yang dikatakan oleh Usama Canon seorang Muslim Amerika tadi, bahwa Islam merupakan agama yang murni seperti air, yang warnanya mengikuti warna landasan yang dilaluinya.

Di Indonesia, Islam dapat membaur dan akrab dengan tradisi lokal, buktinya dengan waktu singkat Islam berkembang pesat di Indonesia sampai dengan saat ini. Sebagai generasi muda Islam di Indonesia selayaknya kita menjadikan dakwah Walisongo ini tauladan yang baik. Mari sejenak mengirimkan Alfatihah untuk anggota Walisongo dan akhirnya selamat puasa semuanya!

Oiya ternyata di Aceh juga ada tradisi menyambut Ramadan yang memiliki nama mirip dengan di Desa Kapu tadi yaitu Meugang. Tradisi ini kurang lebih sama yaitu bergembira menyambut ramadan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *