Era Disrupsi Musik Indonesia, Dari Album ke TikTok

Era Disrupsi Musik Indonesia

Era disrupsi musik Indonesia menjadi obrolan yang seolah tidak pernah basi. Hampir semua lini kehidupan manusia saat ini mengalami disrupsi. Termasuk industri musik tanah air.

Untuk yang belum tahu, menurut Prof. Rhenald Kasali, disrupsi adalah sebuah inovasi. Artinya menggantikan cara kerja lama dengan cara baru yang lebih efisien.

Pada saat ini, disrupsi sangat masif terjadi, hampir di semua lini kehidupan. Ini karena pengaruh dari internet yang sudah menjadi salah satu tulang punggung peradaban manusia modern.

Industri musik tanah air terus berbenah dan terus bergerak menemukan bentuk terbaiknya. Disrupsi pun terjadi berkali-kali di industri ini. Tidak hanya berkali-kali namun juga bermacam-macam.

Di usia saya yang menginjak kepala tiga ini setidaknya ada tiga titi mangsa era disrupsi musik Indonesia.

Angka tiga ini dalam konteks pengemasan lagu yang makin beragam dan menjadi pilihan bagi musisi untuk memasarkan karyanya.

Bacaan Lainnya

Album

Saya mengawalinya dengan album. Saya membaca beberapa referensi tentang pengemasan karya musik. Kesimpulan saya, Album adalah salah satu metode untuk mengemas karya musik agar mempermudah pemasarannya.

Album sendiri umumnya dibagi menjadi dua yaitu Long Playing (LP) dan Extended Play (EP). Album LP umumnya memuat delapan lagu atau lebih. Sedangkan Album EP memuat satu hingga empat lagu.

Dalam pembuatannya, album memakan banyak waktu, bahkan hingga hitungan tahun. Hal ini karena musisi harus mengumpulkan materi lagi hingga delapan lagu, untuk kemudian merilis album.

Album menjadi kebanggan musisi, artinya mereka sudah berhasil menelurkan sebuah karya yang harapannya akan bisa bermanfaat untuk penikmatnya.

Pada awak abad ke-21, seiring dengan perkembangan digital yang sangat masif, maka terjadi era disrupsi musik Indonesia. Album tidak lagi menjadi cara favorit untuk mengemas lagu.

Di era disrupsi musik Indonesia, musisi tidak perlu lagi menunggu tersusun delapan lagu untuk memasarkannya. Lalu muncul cara baru yang diyakini sangat efektif dalam memasarkan karya. Cara tersebut adalah dengan mengeluarkan single.

Single

Langsung saja, ya. Single dalam tataran musik Indonesia merupakan sebuah disrupsi. Artinya merupakan perubahan cara distribusi karya musisi tanah air. Di awal dekade 2000, tanda-tanda pergeseran sudah mulai terlihat.

Makin banyak musisi yang tidak lagi mengeluarkan album. Mereka lebih memilih mengeluarkan single. Single ini biasanya didistribusikan dalam platform digital seperti Spotify atau iTunes yang mulai banyak sekali penggunanya di Indonesia.

Selain alasan praktis, alasan musisi lebih senang merilis single ketimbang merilis album adalah bahwa dengan merilis single maka performa lagu tersebut akan sangat baik.

Logikanya begini, ketika musisi merilis satu album berisi delapan lagu, maka di satu saat tersebut biasanya yang terkenal ya hanya satu. Padahal ada delapan lagu yang semunya berkualitas baik.

Dengan merilis lagu dengan single maka satu lagu tersebut akan dapat ekspos yang lebih besar. Secara hitungan ekonomis tentu lebih menguntungkan.

Single juga dapat mencegah lagu tersebut terasa “usang”. Mengingat saat ini adalah zaman serba cepat. Hari ini dan sepuluh tahun yang lalu sudah sangat berbeda jauh.

Namun ternyata Era Disrupsi Musik Indonesia masih terus berlanjut. Setelah hadirnya tiktok bahkan single saja ternyata masih kurang pendek.

Yuk kita bahas selanjutnya.

Sound Tiktok

Era disrupsi musik Indonesia memasuki babak baru setelah munculnya aplikasi tiktok. Aplikasi ini memungkinkan orang untuk berkreasi dengan musik dan video pendek. Hanya sekitar 30 detik.

Dengan melihat perkembangan Tiktok sekarang tidak menutup kemungkinan para musisi akan merilis karya mereka melalui Sound Tiktok.

Cara pendistribusian lagu yang awalnya ada delapan lagu dalam satu album, lalu bergeser hanya satu lagu atau single, dan di era disrupsi musik Indonesia yang sekarang hanya akan menjadi potongan lagu sepanjang 30 detik. Luar biasa.

Kenapa Tiktok bisa mendisrupsi sedemikian rupa? Dugaan saya, jawabannya adalah karen tiktok mengakomodasi trend prosumer.

Prosumer memungkinkan konsumen memproduksi barang atau jasa sesuai kebutuhannya.

Dahulu, penikmat musik hanya pasrah menikmati lagunya divisualkan melalui video clip. Saat ini dengan tiktok mereka bisa membuat video clip versi mereka sendiri.

Mereka bisa mengekspresikan berbagai perasaan dengan memvisualisasikan sebuah lagu, lalu dibagikan ke seluruh orang-orang.

Jadi bisa jadi suatu hari Ahmad Dani Dewa 19 atau Noah akan merilis sound TikTok.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *