Kasmi bukan nama sebenarnya, adalah seorang gadis salah satu desa di Tuban. Dia sedang sumringah karena hari ini orang tuanya akan “melamar” laki-laki impiannya untuknya sesuai dengan tradisi pernikahan adat Jawa ala Tuban. Sedangkan orang tuanya sedang sibuk menata jodang berisi aneka macam seserahan yang akan melengkapi acara lamaran nanti. Dibantu beberapa tetangganya, satu persatu jodang dimuat ke atas Kol Tepak (Sebutan lain untuk mobil pick up).
Itulah gambaran awal rangkaian pernikahan tradisional orang di Kabupaten Tuban. Di Tuban sebenarnya tidak ada istilah melamar. Istilah ini baru di kenal pada masyarakat modern Tuban. Dalam tradisi Tuban sebutannya adalah gemblong. Nama gemblong ini sebenarnya berasal dari menu utama seserahan tadi yaitu Gemblong.
Gemblong adalah makanan dari dari ketan. Sama seperti daerah mataraman lainnya yang menggunakan makanan berbahan ketan sebagai simbol lamaran. Filosofinya adalah pengantin sebagai suami isteri agar bisa tetap melihat ketan yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Gemblong di Tuban berbeda dengan gemblongnya orang Sunda yang berwarna cokelat karena dibalut dengan gula. Gemblong di Tuban mirip dengan jadah yang ada di daerah Jawa Tengah.
Orang tua di Tuban berkeyakinan salah satu tugas orang tua yang memiliki anak perempuan adalah mencarikan jodoh atau menikahkan. Maka yang akan terlihat proaktif mencari pendamping anaknya adalah orang tua calon mempelai pengantin wanita. Hal ini berbeda dengan tradisi orang di kota lain, yang justru calon pengantin prianya yang kelihatan proaktif mencari jodoh untuk dirinya sendiri apapun metodenya.
Baca juga : Dangdut Koplo di Tengah Generasi Digital
Dengan keyakinan seperti itu maka terwujudlah rangkaian tradisi pernikahan adat jawa khas Tuban yang secara umum terdiri dari naren yang dilakukan oleh orang tua wanita kepada calon mempelai pria. Kemudian gemblong yang lagi-lagi dilakukan oleh orang tua wanita, medot gunem, repotan, akad nikah hingga selapanan yang semuanya dilakukan oleh orang tua pengantin wanita.
Tahap pertama untuk menuju ke pernikahan ada tradisi naren. Naren itu berarti nari atau berarti bertanya. Ketika anak wanita cukup umur dan bersedia menikah maka orang tua calon pengantin wanita mencarikan calon pengantin pria yang cocok. Ketika menemukan -tentu sesuai kriteria orang tua- maka orang tua tersebut akan menanyai calon yang sudah masuk “radar” tadi. Mau tidak calon tersebut menikah dengan putri tercinta. Jika mau maka berlanjut ke tahap berikutnya.
Pada tahap pertama ini sekarang telah mengalami modifikasi. Jika dahulu yang mencari calon pengantin pria adalah orang tua, maka sekarang yang mencari ya anak wanitanya itu sendiri. Sebenarnya wajar karena akses pendidikan dan informasi wanita di Tuban sudah layak, tidak ada perbedaan dengan pria. Hal ini tentu berbeda jika dibandingkan dengan jaman dulu. Tetapi orang tua perempuan tetap bertugas menanyai calon pengantin pria, namun dengan pertanyaan yang lebih dalam, misalnya sudah yakin mau menikah dan lain-lain.
Jika semua berjalan lancar, maka ada tahapan selanjutnya yang lebih serius yaitu gemblong. Pada fase ini biasanya kedua keluarga sudah mengetahui tentang rencana acara ini. Mereka sudah saling menyelidiki dan memegang profil masing-masing keluarga calon besan. Orang tua di Tuban sama seperti orang tua lainnya, mereka ingin memastikan jodoh anaknya adalah yang terbaik dengan kadar tertentu sesuai kriteria keluarga masing-masing. Jadi ya wajar sesama keluarga saling mencari tahu seperti apa calon keluarganya.
Baca juga : Lebaran Singkat di Desa Kapu
Pada tradisi gemblong, orang tua calon pengantin wanita akan meminta sesepuh keluarga untuk mengantarkan mereka ke calon besan. Sajian dari beras ketan seperti gemblong dan wajik atau orang Tuban bilang ketan salak sudah disiapkan terlebih dahulu ditambah berbagai bawaan. Ada yang bawa beras, ayam, roti dan lain-lain yang ditaruh di Jodang dan diangkut menggunakan mobil tepak.
Calon mempelai biasanya tidak ikut dalam acara ini. Ini adalah acaranya orang tua. Calon pengantin wanita tinggal di rumah, yang berangkat adalah orang tua dan sesepuh keluarga. Ketika sampai di rumah calon mempelai pria mereka disambut layaknya tamu agung. Disambut dengan penuh penghormatan. Mereka biasanya langsung mengutarakan maksudnya untuk mengambil anak laki-laki keluarga tersebut sebagai menantu.
Sementara di bagian lainnya para pendarat disibukkan dengan pembongkaran seserahan yang dibawa oleh keluarga calon mempelai wanita. Setelah diturunkan lalu dibagi, diiris, dibungkus lalu dibagikan kepada tetangga terdekat sampai keluarga jauh. Ini sekaligus menandakan bahwa calon mempelai pria sudah ada yang meminang menjadi menantu. Di acara gemblong ini tidak ada tukar cincin layaknya lamaran di kota lainnya. Jadi ya gemblong tadi simbolnya.
Pertemuan keluarga inti tadi biasanya langsung membicarakan tanggal pelaksanaan. Meski demikian tidak menutup kemungkinan akan dilakukan pertemuan-pertemuan lanjutan secara informal hingga mencapai kesepakatan soal hari dan teknis lainnya terkait pelaksanaan pernikahan. Pertemuan lanjutan penting digelar karena beberapa masyarakat di Tuban masih secara ketat menerapkan perhitungan hari dengan pertimbangan primbon.
Baca juga : Udukan, Tradisi di Desa Kapu untuk Peringati Maulid Nabi
Acara selanjutnya adalah medot gunem. Acara ini sebenarnya acara yang informal saja karena tidak ada lagi acara formal yang melibatkan banyak pihak. Ini adalah pertemuan terakhir untuk mengambil keputusan tentang hal-hal teknis acara pernikahan nanti. Setelah medot gunem akan dilakukan repotan.
Repotan itu adalah acara pendaftaran calon mempelai wanita, pria dan wali. Dilakukan di KUA terdekat rumah mempelai wanita. Di Tuban seperti lazimnya di tempat lain, akad nikah dilakukan di kediaman mempelai wanita. Repotan ini juga sebenarnya acara informal. Biasanya ya hanya selametan kecil saja, supaya diberikan kelancaran selama proses mengurus administrasi pernikahan.
Setelah repotan maka hari yang tunggupun tiba. Saya ndak tau tradisi detailnya seperti pemasangan bleketepe, dodolan dawet dan lain-lain. Soalnya sudah jarang masyarakat Tuban yang melaksanakannya. Acara akad nikah diawali dengan penjemputan calon mempelai laki-laki oleh keluarga calon mempelai perempuan. Biasanya diwakili oleh sesepuh keluarga. Calon mempelai laki-laki tidak akan berangkat ke tempat akad jika penjemputnya belum datang.
Setelah itu maka seluruh rangkaian pernikahan akan dilakukan sesuai keputusan musyawarah yang disepakati pada saat medot gunem sebelumnya. Dari mulai Mas Kawin, rute yang harus ditemput oleh calon pengantin pria, waktu akad nikah, penyambutan pengantin pria yang biasanya diberi minum dari genuk milik keluarga calon pengantin wanita dengan wadah jebor yang terbuat dari tempurung kelapa dan lain-lain sampai dengan tata cara resepsi.
Nah yang menarik adalah, orang tua calon pengantin pria pada saat akad nikah biasanya tidak ikut dalam rombongan. Mereka tidak menyertai putranya seperti di kota. Orang tua calon pengantin pria akan datang ketika akad sudah selesai. Orang tua calon pengantin pria akan memasrahkan kepada mertuanya, dan akan memberitahukan kelemahan putranya. Misalnya tidak bisa membantu dengan rajin, pemalas dan lain-lain. Jadi untuk calon pengantin pria siap-siap, ya.
Setelah akad selesai dan resepsi juga telah selesai digelar, maka pengiring pengantin pria akan bertahan di tempat acara sampai pagi. Mereka melaksanakan tradisi melekan. Entah apa maknanya, tetapi di banyak di Tuban masih melaksanakan acara ini. Dalam acara melekan ini tidak ada ketentuan khusus, mereka biasanya hanya akan duduk-duduk, mengobrol dan tentu saja ditemani kopi.
Rangkaian terakhir di dalam pernikahan adat jawa ala Tuban ini adalah sepasar. Di Tuban sepasar berarti 5 hari sejak tanggal pernikahan digelar. Ini sesuai dengan tradisi penanggalan jawa yang memiliki 5 hari dalam sepekan. Pada acara sepasar, keluarga pengantin wanita akan berkeliling membawa makanan dan jajanan yang banyak. Makanan tersebut akan dibagikan kepada keluarga pengantin pria.
Nah demikian rangkaian pernikahan adat jawa di Tuban. Semua yang saya tulis biasanya berbeda antara satu kecamatan dengan kecamatan lain atau bahkan antar desa juga kadang berbeda. Tidak mengherankan karena masyarakat Tuban sudah banyak keluar dan terpengaruh budaya luar Tuban sehingga melahirkan tradisi-tradisi baru, yang malah menambah kekayaan tradisi orang Tuban. Mari saling menghargai dan menghormati.
Tulisan ini menarik? Dukung kami untuk selalu memberikan konten yang menarik dengan terus membaca tulisan di Blog ini dan klik Daftar isi untuk membaca tulisan menarik lainnya.
Saya meskipun sekarang jadi Tuban tidak mengalami prosesi panjang adat pernikahan orang Tuban. Waktu itu keluarga laki- laki menyesuaikan dengan adat daerah asal saya.
Hahaha… Ya nggak apa-apa
Bismillah,tahun ngarep gemblongan kang…????
Allahumma Gemblongan, mugi-mugi sukses!
Apa semua orang di Tuban masih menggunakan tradisi ini mas ?
Atau hanya sebagian masyarakat Tuban aja ?
Kalo ada boleh saya minta alamatnya jelasnya ?
Sebagian besar masih kok. Alamat lengkap? Bisa komunikasi via email :-D
Ng gonku jnenge ora gemblong tapi ngemblog
Beda, ya? :-)
Sampeyan wong ndi kang?
Kog faham carane rabi adat tuban
Yo wong Tuban leh, Kang :-)
Begitu ternyara? Apakah disetiap daerah jawa, memiliki khas pengantin?
Ya setiap tempat ada tradisi khasnya.
Sungguh luar biasa Tuban
Pasti, Bro.
Masukan yah mas , sebenarnya Tuban juga mempunyai pengantin khas sendiri , namanya Pengantin Gaya Semandingan :)
Monggo panjenengan tulis soal pengantin Semandingan, mungkin nanti bisa tak kutip untuk melengkapi tulisan ini.
Filosofi adat Jawa sungguh luar biasa..
Seperti itu adanya :-D
tambah ilmu lagi dari kang rudy….buat acuan untuk mc manten, terhusus saya…suwun mas….
Siap, semoga bermanfaat.
Ribetnya Ya Allah…
Tapi bagus….. budaya kita memang beragam..
Tapi sayang, saya nggk pakek gitu2an…. ?
Nggak ribet sih, kan wajar orang cari menantu seperti itu. Kalau utk seserahan kan sesuai kemampuannya saja :-)
Aku nikah dulu adat jawa campuran.wkkk
Justru semakin memperkaya budaya :-)
nek nggonku ngebrog disek kang. hehehe
Opo iku ngebrog? :-D