Pujian Jelang Sembahyang di Tuban Selalu Bikin Kangen

Pujian Jelang Sembahyang, Pujian Jawa

Pujian jelang sembahyang atau sholat adalah doa atau pesan-pesan kebajikan hidup yang dilantunkan setelah Adzan dan sebelum Iqomat. Pujian dilantunkan di Mushola dan Masjid.

Langit mulai berwarna jingga, para Ibu petani mulai menggendong sak, karung dan keranjang yang berisi rumput-rumput untuk ternaknya. Bapak-bapak menuntun sapinya dan di pundaknya tersampir kerakal yang sebelumnya digunakan untuk menggemburkan tanah.

Ditambah anak-anak yang mulai meninggalkan arena permainan dengan ceria walaupun menyimpan ketakutan dimarahi Ibu karena pakaian lusuh bekas bermain dengan tanah.

Mereka melintas dengan teratur di jalan-jalan desa yang sekarang berbeton atau beraspal. Dahulu jangankan beton atau aspal, tidak becek pun sudah bersyukur sekali.

Sementara di langgar sudut desa yang berarsitektur panggung, terbuat dari kayu jati dan beratap tunda khas langgar di Jawa, serta dilengkapi speaker yang terpasang di ujung tiyang bambu, terdengar lengkingan adzan yang ternyata dilantunkan oleh seorang anak berusia belasan tahun.

Duh Gusti kulo nyuwun ngapuro, sekatahe duso kulo, lan dosane tiyang sepuh kulo, ugi umat Islam sedoyo. Allahummaghfirli dzunubi waliwalidaya… Warhamhumma kama robbaiyani Shagira…

Bacaan Lainnya

Duh suasana yang selalu bikin siapa saja yang berasal dari kota Tuban akan kangen untuk pulang. Setelah adzan, muazdin melantunkan puji-pujian sambil menunggu jamaah lengkap.

Sejarah Pujian Jelang Sembahyang atau Sholat

Sejarah Pujian ini konon adalah tradisi peninggalan walisongo dulu. Masuk akal memang. Karena walisongo terkenal dengan dakwahnya yang luwes.

Sebut saja misalnya Sunan Giri dengan berbagai tembang sarat nilai kemudian Sunan Bonang juga tidak ketinggalan, ditambah Sunan Kudus yang sangat menghormati umatnya yang sudah mapan dengan tradisi keagamaannya sendiri dan yang paling legendaris adalah jejak dakwah Sunan Kalijogo yang sarat pendekatan budaya.

Mengikuti Waktu dan Suasana

Pujian-pujian yang dilantunkan di Langgar atau Mushola di Tuban ini mengikuti peristiwa atau hari. Maksudnya kontekstual sesuai keadaan masyrakatnya.

Jika puasa tiba maka akan dilantunkan pujian puasa berupa doa yang diajarkan Islam saat masuk bulan Ramadhan. Lantunan tersebut dilaksanakan sebulan penuh selama bulan puasa saat sholat lima waktu. Kemudian ketika Maulid Nabi, maka kamu akan dengarkan sebulan penuh pujian yang berisikan pribadi Nabi Muhammad, dari sifatnya sampai dengan silsilah keluarga.

Gusti Kanjeng Nabi lahire ono ing Mekkah. Dino Senen rolas maulud tajun gajah. Ingkang Ibu asmane Siti Aminah, ingkang Romo Asmane Sayyid Abdullah. Allahumma Shali ‘ala Muhammad, Ya Rabbi Shali alaihi was salim.

Jika memasuki malam Jumat maka biasanya mereka akan melantunkan pujian karya Abu Nawas yang berisi tentang pengakuan kelemahan hambaNya di dunia ini. Digambarkan dengan pengakuan ketidakmampuan ketika hamba menghadapi ancaman neraka sampai pengakuan ketidakpantasan hambaNya memasuki Surga yang agung. Berbeda lagi ketika memasuki bulan Rajab dan Syakban maka akan berganti nuansa menyambut Ramadhan.

Peran Langgar dalam kehidupan Masyarakat

Jadi langgar memang memiliki peran sentral di masyarakat Tuban. Langgar mengingatkan untuk berbaik-baik dalam menjalani kehidupan. Lima waktu diingatkan melalui pujian yang dilantunkan sebelum Sholat dimulai. Langgar juga menjadi tempat bersuka cita. Karena masyarakat desa sering kali menggelar doa syukur di Langgar ketika terdapat keberuntungan dalam kehidupan. Syukuran di gelar dengan membawa bucu disertai bumbu-bumbu sederhana.

Selain itu langgar juga menjadi pusat pendidikan Islam tingkat lingkungan. Langgar-langgar di Tuban banyak yang menyelenggarakan Taman Pendidikan Alquran (TPA). Kemudian langgar juga berfungsi untuk melestarikan tradisi keislaman di Jawa yang khas seperti puji-pujian yang dilantunkan setelah adzan menjelang iqomat tadi.

Atau ada juga tradisi Udukan saat bulan maulid, ada juga tradisi buburan syuro saat tanggal 10 bulan Muharram tiba.

Di samping itu langgar juga menjadi tempat tidur favorit bagi para remaja laki-laki. Entah sejak kapan tradisi tidur di langgar ini. Namun saat saya dulu remaja, akan sangat memalukan jika anak laki-laki tidak pernah tinggal di langgar. Atau minimal kalau malam tidurnya di langgar.

Penasaran dengan suasana ini, ayo datang ke Tuban dan tunggu sampai senja menyapa, maka kamu akan rasakan ketenangan sekaligus kebersahajaan budaya yang bernafaskan agama illahi.

Dapatkan informasi lainnya melalui Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

10 Komentar

  1. Bar Moco tulisan di atas, malah kelingan jaman biyen waktu melantunkan pujian Nang langgar. Haha

  2. kadang sangat kreatif, liriknya sama tapi lagu/aransementnya berbeda. banyak yang menggunakan syair jowo